Di dunia yang diatur oleh sistem, angka, dan kebijakan, personal banding hadir sebagai bentuk komunikasi paling manusiawi—yang menyampaikan keberatan bukan dengan teriakan, tapi dengan ketulusan. Ia bukan hanya sekadar surat atau dokumen administratif. Personal banding adalah sebuah seni.
Mengapa seni? Karena ia bukan hanya tentang apa yang ditulis, tetapi bagaimana menuliskannya. Bukan hanya soal menyampaikan informasi, tetapi juga menenun emosi, logika, dan harapan menjadi satu narasi yang meyakinkan dan menyentuh.
1. Seni Menyampaikan Tanpa Menyalahkan
Seni dalam personal banding terletak pada bagaimana Anda mengungkapkan ketidaksetujuan tanpa menyudutkan siapa pun. Banding yang baik tidak menyerang, melainkan merangkul. Ia tidak marah, tapi mengajak berdialog.
“Saya menyadari keputusan ini diambil dengan pertimbangan tertentu, namun izinkan saya menyampaikan beberapa hal yang mungkin belum sempat diketahui.”
Kalimat seperti ini menunjukkan kepekaan, bukan konfrontasi—dan itu seni.
2. Seni Mengungkap Luka Tanpa Mengeluh
Banyak banding yang gagal karena terlalu emosional atau sebaliknya—terlalu kaku. Padahal, personal banding yang efektif menyampaikan kesulitan dengan jujur namun tetap bermartabat. Ia membawa rasa simpati, bukan belas kasihan.
“Dalam beberapa bulan terakhir, saya mengalami kendala keluarga yang cukup berat, namun saya terus berusaha memenuhi kewajiban akademik saya.”
Menulis seperti ini membutuhkan kepekaan, ketepatan diksi, dan pengendalian emosi—seperti seorang seniman memilih warna untuk melukis perasaan.
3. Seni Menyusun Cerita yang Meyakinkan
Personal banding adalah cerita. Cerita yang logis, terstruktur, tapi juga hidup. Ia membutuhkan alur: latar belakang, konflik, dan harapan. Semuanya harus hadir dalam satu narasi singkat namun kuat.
“Nilai saya memang menurun semester ini. Tapi bukan karena saya menyerah, melainkan karena saya harus memilih: menjaga ibu yang sakit atau mengikuti kelas penuh waktu.”
Cerita seperti ini tidak hanya menjelaskan, tapi juga mengajak merasakan. Dan itulah kekuatan seni.
4. Seni Mengakhiri dengan Harapan
Seperti lukisan yang ditutup dengan goresan terakhir, personal banding harus ditutup dengan kalimat penuh harapan, bukan desakan. Kalimat yang ringan tapi mengandung kekuatan.
“Saya berharap Bapak/Ibu berkenan mempertimbangkan banding ini. Terima kasih atas waktu dan pengertian yang diberikan.”
Kalimat ini menunjukkan bahwa Anda menghormati proses, dan itulah ciri khas seni komunikasi yang matang.
Kesimpulan: Banding yang Didengar adalah Banding yang Dirasakan
Personal banding bukan sekadar soal apa yang Anda alami, tapi bagaimana Anda mengemas pengalaman itu. Ketika banding ditulis dengan hati, diolah dengan pikiran, dan disampaikan dengan etika, maka ia menjadi seni yang utuh—dan seni selalu punya tempat di hati mereka yang melihatnya.
Jika Anda ingin menyusun banding, pikirkan bukan hanya fakta, tapi juga rasa. Tulis bukan hanya dengan pena, tapi juga dengan empati. Karena dalam seni, yang paling kuat bukan yang paling keras—melainkan yang paling tulus.